Saat Ranto Membaca Puisi Setiap Pagi
Ini puisi yang kedua ribu tiga ratus tujuh puluh satu yang dia bacakan untuk istrinya. Setelah penyakit itu membuat ingatan Narina menghilang secara perlahan, dia memutuskan membaca puisi setiap pagi demi menjaga ingatan istrinya. Sebelum tidur, Ranto menulis bait-bait puisi untuk Narina, kadang tuntas kadang pula hanya sebatas judul. Usia membuatnya tak seproduktif dulu. Masa-masa ketika dia rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk menemukan kata yang tepat atas perasaannya. Atau hari ketika dia merasa tak menemukan kata yang benar-benar sesuai dengan keinginannya. Saat-saat seperti itu, tetap saja Ranto akan berkeras untuk duduk menulis puisi. Hingga tanpa dia sadari, puisi itu berhasil tercipta dengan cukup matang. Tapi, setelah Narina hilang ingatan, Ranto mesti meluangkan waktu untuk menjaga dan merawatnya setiap hari.
Anak cucunya hanya datang sesekali lantaran tempat kerja mereka yang berada di luar kota T. Kecuali Nirwan, anak pertamanya yang jarak rumahnya tak begitu jauh dengan rumahnya. Bersama Nirwan, Ranto merawat Narina yang kian hari kondisinya semakin parah. Hari Senin, Narina bisa lupa dengan namanya sendiri. Hari Selasa, Narina bisa lupa dengan Nirwan. Hari Rabu, Narina bisa kembali mengingat kenangan-kenangan indah bersama Ranto. Hari Kamis, Narina bisa tak mengenal Ranto dan Nirwan. Ingatan itu semakin pudar tapi Ranto semakin yakin jika Narina akan sembuh berkat puisi-puisinya setiap pagi.
“Barangkali ayah butuh istirahat, biarkan Nirwan yang menjaganya di rumah”
Mendengar itu, Ranto akan diam sejenak lalu menggeleng.
“Biarkan bapak saja Nak!” jawabnya. Tak lama setelah itu, dia akan senyum dan memeluk tubuh Nirwan yang kekar. Bersama istrinya, Nirwan sesekali datang menjenguk ayah dan ibunya. Mereka menginap dan membiarkan ayahnya beristirahat mengurusi ibunya. Meski seperti itu, Ranto tak pernah sepenuhnya istirahat menjaga Narina. Merawat Narina sepertinya telah terpatri dalam sanubari Ranto yang terdalam. Tak pernah sekali pun dia mengeluh atau merasa lelah dengan kerja-kerja yang dia lakukan untuk istrinya.
***
Narina tersenyum-senyum. Bait pertama baru saja Ranto baca dengan intonasi pelan dan jelas. Dia tak mengingat apa-apa setelah mendengar puisi itu. Tapi, senyuman tak perlu ingatan. Narina hanya mendengar bait-bait indah yang membuatnya merasa istimewa di mata Ranto.
Di halaman belakang, Narina duduk bersandar di kursi empuk berwarna abu-abu. Sedang Ranto, dia berdiri membacakan puisi yang ditulis pada selembar kertas panjang. Adegan ini, membuat Ranto merasa lebih muda setiap pagi. Meski rambutnya telah beruban dan keriput di wajahnya semakin jelas, satu dua giginya mulai longgar dan sisa menunggu hari, gigi itu akan menjatuhkan dirinya sendiri. Cukup dengan senyum Narina, dia merasa keyakinannya akan benar-benar terpenuhi.
Narina akan sembuh, pikirnya.
***
Berbeda dengan ayahnya yang dipenuhi keyakinan menggebu-gebu, Nirwan tidak. Pesan dokter yang merawat ibunya – membuatnya kehilangan harapan. Yang bisa dia lakukan hanya menghibur ayah dan menjaga ibunya sebaik mungkin. Peluang kesembuhan Narina nyaris seperti mengharap matahari terbit di malam hari. Pada mulanya, Nirwan ingin agar ayah dan ibunya berada dalam atap yang sama. Namun Ranto berkeras untuk merawat istrinya di rumahnya sendiri.
“Lagipula, bapak masih sehat. Kau tak perlu cemas dengan ibumu” bantah Ranto.
“Tapi, mungkin bapak bisa kelelahan dan sakit karena harus mengurusi ini dan itu”
“Tidak, biarkan bapak saja Nak!” Meski Nirwan paham jika ayahnya telah teguh dengan pendiriannya, namun setiap kali ada kesempatan, dia akan mencoba kembali mengajak ayahnya.
Pagi itu, saat Ranto baru saja membacakan puisinya yang kedua ribu tiga ratus tujuh puluh satu, Nirwan duduk di samping ibunya. Frasa, anak bungsu Nirwan yang baru berumur enam tahun ikut di sampingnya.
“Ayah, kakek kenapa bicara sendiri?”
Nirwan merapatkan jari telunjuknya di bibir Frasa, “Sssst…diam dulu Frasa!” Setelah itu, Frasa kemudian ikut melihat Ranto membaca bait-bait yang baru dia tulis semalam. Narina telah tiba pada hari ketika dia melupakan nama-nama orang yang ada di sekitarnya. Baik, Ranto, Nirwan hingga Frasa tak lagi terekam di ingatan Narina.
Setelah Ranto membacakan puisinya, diciumlah kening Narina lalu digandeng untuk kembali ke dalam rumah. Nirwan dan Frasa mengikuti dari belakang.
“Ayah, kenapa nenek diam saja?”
Sebelum Nirwan menjawab, Ranto kemudian berbalik dan menjawabnya sendiri.
“Nenek masih istirahat Frasa, besok juga nenek sudah bicara lagi!”
“Kakek tadi kenapa bicara sendiri?”tanya Frasa.
Kali ini, Nirwan sendiri yang langsung menjawab Frasa. “Kakek sedang mengobati nenek, jadi nanti nenek bisa bicara lagi”
Sampai Nirwan dan Frasa pulang, Narina tak pernah berbicara sama sekali. Dia hanya tersenyum saat Frasa berdiri di hadapannya dan melakukan cilukba pada Narina.
***
“Siapa? Aku siapa?”
Sore itu, Narina berteriak-teriak sendiri saat Ranto tengah menyiapkan makan malam di dapur. Mendengar itu, Ranto segera mematikan kompor, berhenti memotong sayur dan segera menemui istrinya.
“Kau siapa? Aku ingin pulang ke rumah!” Narina menunjuk-nunjuk wajah Ranto dan berteriak histeris. Ranto segera memeluk istrinya dengan sangat erat. Namun, Narina meronta-ronta hingga akhirnya Ranto segera melepas dekapannya yang erat. Tak lama setelah itu, Narina terdiam dan tertidur pulas di ruang tamu.
Ini bukan kali pertama, Narina kerap mencari rumahnya. Bertahun-tahun Ranto melalui masa-masa pelik seperti itu, dalam hati dia terus meyakinkan dirinya bahwa Narina akan segera sembuh. Hingga Ranto seringkali bermimpi, melihat Narina ikut membacakan puisi untuknya di pagi hari. Melihat dirinya dan Narina berjalan pulang menuju sebuah rumah. Akan tetapi, malam itu dia bermimpi melihat dirinya berteriak-teriak bertanya,
“Siapa? Aku siapa?”
Dan dilihatnya Narina membacakan puisinya di pagi hari yang cerah. Meski dia berteriak-teriak, tapi Narina tak mampu mendengarnya. Narina terus membacakan puisi, puisi yang dulu ditulis oleh Ranto. Saat itu juga Ranto pun menyadari, ingatannya telah berkhianat dan dunia sedang terbalik.
Di halaman belakang, seseorang masih membacakan puisi setiap pagi hingga mencapai puisi ketiga ribu seratus enam puluh delapan. Dan seorang lagi, masih terperangkap dalam dunia yang terbalik.
---
Pertama kali dimuat di Koran Tempo, 17 April 2022
Post a Comment: